Mata ini perlahan mulai membuka, aku mulai bangun. Aku berjalan menuju ruang tamu. Jarum jam membentuk angka 05.30 pagi, diawali cuaca dingin disertai hujan. Hari-hari yg biasa di mulai dengan jalan pagi dan membaca buku, terpaksa jalan pagi di tunda menjadi work out. 06.30 aku baru selesai workout. Terasa banget lelah nya guys. "Pasti air sungai nya dingin banget" gumam ku. Benar saja air nya dingin, dan aku bergegas menyelesaikan mandi ku. Tak lama, perut terasa mules sehingga aku harus ke kamar mandi. Sudah pukul 06.30, "ah gimanaa ini, mana belum selesai siap-siap". Aku bergegas untuk body care dan skincare. Nggak sempat sarapan, sebagai gantinya aku bawa kue bolu ukuran besar dan tak ketinggalan vitamin harian ku ku bawa. Sesampai kantor, aku bergegas makan kue dan minum vitamin ku dan langsung ke aktivitas sehari-hari ku di kantor.
ALI BIN ABI THALIB
Ali bin abi thalib, Persia 599-561 adalah salah seorang pemeluk agama islam pertama dan juga keluarga dari nabi Muhammad. Menurut islam Sunni, ia adalah khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan syi’ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih Rasulullah Muhammad SAW. uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya khalifah yang sekaligus menjadi imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Hal yang menarik dari Ali adalah berkaitan dengan pengikutnya atau yang dikenal dengan kaum Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi’ah meninggikan kedudukan ali atas sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatta. Syi’ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan. Sedangkan, sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan sahabat Nabi yang lain. Sunni menambahkan nama Ali dengan Radiyallah Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Selain itu, menurut sufi, mereka menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan “Karamallahu Wajhah” (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum sufi ini sangat unik, berdasarkan riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadariyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
KEHIDUPAN AWAL
Ali adalah putera Abu Thalib bin Abdul Muthalib kakek Rasulullah saw, ibunya bernama Fatimah bin Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf adalah paman Rasulullah yang mengasuh nabi semenjak kakeknya meninggal dunia. Ali ra tergolong keturunan Hasyimiyah, sama dengan garis keturunan nabi Muhammad, Ali lahir pada tahun ke 10 sebelum kerasulan Muhammad. Semenjak kecil Ali tumbuh dalam pengasuhan dan bimbingan Nabi. Ia merupakan orang pertama dari golongan remaja yang menyatakan masuk islam.
Ia adalah pembela agama yang berjiwa patriotic dan rela berkorban jiwa dan raganya demi untuk menegakkan agama Allah. Ia terkenal ahli fiqh dan sangat terkenal dengan kesucian sikapnya dalam pergaulan dengan masyarakat. Ia tidak segan-segan memberikan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkannya. (Al-Jahizh dalam Zainal Abidin Ahmad, 1997: 168)[1].
PERAN ALI BIN ABI THALIB DALAM KEMAJUAN ISLAM
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menajadi pahlawan di samping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas ditangan Ali masihdalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun. Selain itu, terdapat pula perang Khandaq dimana peperangan itu menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Selain itu dalam perang Khaibar setelah perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian antara kaum Muslim dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga kaum pecah melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
“Besok, akan kuserahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan mendapatkan kemuliaan tersebut. namun, ternyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian. Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mawakili Nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat, hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syia’ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasarkan riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya’qubi dalam kitab Tarikh-nya jilid II menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalanan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji (Hijjatul-Wada’), malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal dengan nama “GHADIR KHUM”. Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudian berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata: “Barang siapa menganggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orangyang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya”.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Bait dan pengikutnya. Beberapa riwayar berbeda pendapat waktu pembai’atan Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali membai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan ummat. Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya berada di tangan Bani Hasyim.
MASA KEKHALIFAHAN ALI BIN ABI THALIB
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontakan yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, waktu itu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintahannya Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul Mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, yang menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan peperangan tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifahannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 hijriah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keturunan utama untuk bagian ini adalah: keturunan Ali bin Abi Thalib memiliki delapan isteri setelah meninggalnya Fatimah Az-Zahra dan memikiki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah adalah Hasan dan Husain. Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif dan Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
DINAMIKA PEMERINTAHAN DI MASA KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB
Masa pemerintahan Ali penuh dengan perang sipil, Khalifah ini dihadapkan pada situasi politik yang genting, hal ini tentu berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat dan ekonomi mereka. Sejak awal pemerintahannya sudah terlihat gejala-gejala akan meletusnya perang sipil dan perang ini dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi panutan sosial maupun agama, disatu pihak mereka juga sangat menghormati Ali. Kondisi yang seperti ini sangat menyengsarakan masyarakat.
Pada bidang ekonomi perang pasti berpengaruh negatif pada mayoritas penduduk, perdagangan menjadi lesu, ditambah lagi ulah para penteror yang sering merampas harta benda masyarakat yang bertujuan dagang maupun tidak. Sebaliknya perpindahan ibu kota membawa pengaruh yang positif untuk perdagangan paling tidak disekitar Kufah menjadi salah satu pusat peta perdagangan dan peradaban kala itu. Ali juga memperbaiki sistem pembagian faify yang berlaku pada Utsman, ia tidak lagi menerapkan sentralisasi, tetapi seluruh faify dibagi secara merata kepada orang yang berhak.
Khuda Bakhsh (Zainal Abidin Ahmad, 1997: 170) dalam (rianawati: 2010) menyatakan bahwa ada 3 faktor buruk yang semakin memperburuk situasi pemerintahan Ali bin Abi Thalib:
- Adanya reaksi dari pihak kaum anti islam atau disebutkan perang saudara.
- Hidupnya kembali semangat Arab Jahiliyah, yaitu keluarga dan kabilah.
- Tumbuhnya partai-partai politik agama.
Ketiga faktor diatas telah menyebabkan pecahnya perang dikalangan islam sendiri. Khalifah sangat kewalahan dalam menghadapi persoalan ini. Khalifah Ali merasa tidak aman menetap di Madinah sebagai ibu kota, oleh karena itu pada tahun 36 H/ Januari 657 M (belum cukup setahun ia memerintah), dia memindahkan ibu kota negara ke Kufah. (Zainal Abidin Alimad, 1997: 170)
Hal yang paling menonjol pada masa pemerintahan Ali adalah munculnya aliaran dalam islam yang berawal dari permasalahan politik seperti:
- Khawari yang muncul pertama kali setelah perang Shiffin. Pada awalnya adalah golongan politik yang tidak setuju dengan Ali. Akhirnya merekapun memberontak kepada Ali. Anggapan mereka bahwa semua yang ikut dan menyetujui tahkim adalah kafir dan layak dibunuh.
- Syiah adalah anti Khawarij, pada awalnya juga golongan politik sebagai tandingan Khawarij, mereka adalah yang membaiat Ali untuk kedua kalinya setelah masalah Tahkim. Tapi pada pertengahan masa pemerintahan Ali mereke mulai berubah menjadi golongan dalam agama karena anggapan mereka Ali lebih pantas menjadi Khalifah.
- Madzhab Wishayah. Yaitu keyakinan bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali agar melanjutkan kekhalifahannya. Madzhab ini adalah hasil rekayasa Abdullah bin Saba’.
- Mazhab Sabaiyah, pengikut Abdullah bin Saba’, keyakinan golongan ini adalah adanya inkarnasi.
Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Ali dalam bidang intelektual, hal ini dikarenakan seluruh masa pemerintahannya tidak pernah stabil. Ada satu gerakan yang dicatat sejarah yaitu pembuatan harkat dan tanda baca huruf hijaiyah. Pada awalnya bahasa Arab tidak memiliki titik dan baris, hal ini menyebabkan kesulitan dalam memahami tulisan Arab dan membaca Al-Qura’an terutama bagi orang non-Arab. Untuk mengatasi hal ini Ali memerinthkan Abul Aswad untuk membuat tanda baca Al-Qur’an, beliau berhasil menciptakan titik meskipun tidak sesempurna yang kita lihat sekarang.
Tidak lama setelah Ali menjadi khalifah keempat, beliau segera mendapat tantangan. Karena tanpa disadari ternyata ada tokoh-tokoh yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Perang ini dinamakan perang Jamal karena Aisyah ikut terjun dalam peperangan ini dengan mengendarai unta (jamal). Perang ini dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib, Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Aisyah yang masih muda, yang menikah sedemikian dini, sehingga ia masih membawa boneka dari rumah ayahnya (Abu Bakar), membenci Ali yang pernah melukai kehormatannya; karena suatu ketika, saat ia masih tertinggal sendirian di belakang barisan rombongan Muhammad, Ali pernah mencuriagainya telah berbuat mesum, sehingga Allah turun tangan dan membelanya melalui sebuah wahyu (Q.S 24: 11-20). Di luar Basrah, pada 9 Desember 656, Ali berperang dan mengalahkan pasukan gabungan dalam sebuah pertempuran yang dikenal “Perang Unta”, karena Aisyah menunggangi seekor unta, di tengah oleh prajurit pemberontak. Kedua saingan Ali gugur; ia meratapi keduanya dan menguburkan mereka dengan penuh penghormatan. Aisyah tertangkap dan diperlakukan dengan hati-hati dan dengan cara yang dapat memelihara kehormatannya sebagai “ibu negara) tanah Arab. Ia dikirim kembali ke Madinah. Dengan begitu berakhirlah peperangan pertama, tapi sama sekali bukan yang terakhir, antar orang islam sendiri. Peperangan merebutkan kerajaan yang melemahkan sendi-sendi islam dari masa ke masa dan akhirnya menggoyahkan fondasi utama yang baru dibangun.
Langkah pertama yang dilakukan Ali adalah memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah. Kemudian mungkin untuk mengamankan kekhalifahannya ia memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat oleh pendahulunya dan mengangkat pejabat-penjabat lain. Namun, Ali tidak memperhitungkan Muawiyah, gubernur Suriah dan kerabat Utsman, karena kemudian Muawiyah bangkit melawan dan menuntut kematian Utsman. Di Masjid Damaskus, ia mempertontonkan baju Utsman yang terkena bercak darah dan potongan jari tangan istrinya Nailah yang putus ketika melindungi suaminya. Dengan taktik dan kecerdikannya, ia mempermainkan emosi umat islam. Muawiyah tidak mau menghormati Ali dan menyudutkannya pada sebuah dilemma: menyerahkan para pembunuh Utsman, atau menerima satatus sebagai orang bertanggung jawab atas pembunuhan itu, sehingga ia harus diturunkan dari jabatan khalifah. Namun, persoalan itu lebih dari sekedar persoalan pribadi, tetapi merupakan persoalan lintas individu bahkan keluarga. Persoalan sebenarnya adalah apakah Kufah atau Damaskus, Irak atau Suriah yang dipandang sebagai pemegang mandat tertinggi dalam pemerintahan Islam.
Apa yang tepatnya terjadi dalam perundingan bersejarah ini sulit dipastikan. Berbagai versi muncul dalam berbagai sumber yang berbeda. Namun, kajian kritis yang dilakukan oleh Pere Lammens, yang diawali oleh kajian dari Wellhausen, memperlihatkan bahwa riwayat-riwayat itu mencerminkan pandangan kelompok Irak kebanyakan menjadi rujukan kita yang berkembang pada masa dinasti Abbasiyah, musuh dinasti Umayah. Yang mungkin terjadi adalah bahwa arbitor memecat kedua pimpinan mereka, sehingga Ali menjadi pihak yang kalah, karena Muawiyah tidak memiliki jabatan kekhalifahan yang harus diletakkan. Ia tidak lain hanyalah sorang gubernur sebuah provinsi.
Ada kerugian lain yang diderita Ali karena menerima tawaran arbitrase, yaitu turunnya sempati sejumlah besar pendukungnya.
Pada 24 junuari 661, ketika Ali sedang dalam perjalananmenuju masjid kufah, ia terkena hantaman pedang beracun di dahinya. Pedang tersebut, yang mengenai otaknya, diayunkan oleh seorang pengikut Khawarij,’Abd al-Rahman Ibn Muljam, yang ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh di Nahrawan. Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa ibn muljam adalah salah satu dari tiga orang yang bersumpah di depan ka’bah bahwa pada hari yang sama mereka akan membersihkan komunitas islam dari tiga tokoh pengacau: ali, muawiyah, dan amr bin ash[2].
Setelah kemenangan diraih dalam perang jamal. Ali dihadapkan kembali dengan tantangan yang lebih berat yaitu terjadinya perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 H. Perang ini adalah suatu perang yang terjadi antara pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan selaku Gubernur Damaskus yang diangkat pada pemerintahan Utsman dengan Ali sebagai khalifah penyebabnya adalah: Muawiyah bin Abi Sofyan yang merupakan Gubernur dan seorang pemberani di medan peperangan, cerdik dalam berstrategi, tegas dalam kata dan tidak mengenal iba tersebut tidak mengakui Ali sebagai khalifah. Ia juga menuntut Ali supaya menghukum pembunuh Utsman dan bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam soal pembunuhan itu. Jelasnya Muawiyah ingin menuntut balas kepada Ali atas terbunuhnya khalifah Utsman.
Dalam pertempuran itu, sebenarnya tentara Ali sudah mampu mendesak pasukan tentara Muawiyah. Menyadari diri sudah diambang kekalahan, Muawiyah dan Amru bin Ash secara licik minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an diujung senjata. Melihat lawan sudah minta berdamai sebagai pasukan Ali yang terdiri dari pembaca-pembaca Al-Qur’an (Qurra) mendesak Khalifah Ali agar meminta tawanan tersebut sehingga dihentikan peperangan dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase sebagai pengantara diangkat dua orang: Amru bin Ash dari pihak Muawiyah dan Abu Musa Al-Asyari dari pihak Ali.
Dalam pertemuan delegasi ini, kelicikan Amru bin Ash mengalahkan perasaan takwa dan wara’ Abu Musa. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat kesepakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Muawiyah. Sebagai yang tertua Abu Musa Al-Asyari dipersilahkan terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan Ali bin Abi Thalib dari kursi kekhalifahan. Ketika giliran berikutnya, Amru bin Ash berdiri yang diharapkan mengumumkan penjatuhan Muawiyah, yang ternyata tidak demikian. Dengan liciknya Amru bin Ash hanya mengakui penjatuhan Ali yang telah diumumkan Al-Asyari tetapi menolak penjatuhan Muawiyah.
Melihat peristiwa yang tidak jujur tersebut, tidak mengherankan kalau putusan tersebut ditolak oleh Ali bin Abi Thalib dan tak mau meletakkan jabatannya sampai ia wafat terbunuh di tahun 611 M. Sebelumnya, ketika Ali bin Abi Thalib menerima tawaran damai yang diajukan oleh pasukan Muawiyah dan disetujui para Qura, ternyata pada saat itu sebagian lain pasukan Ali tidak setuju dengan cara dan tawaran tersebut. Karena bagi mereka ini hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh abritasi manusia. Satu-satunya cara menentu mereka ini adalah kembali kepada hukum Al-Qur’an. Wujud dari ketidak jujuran mereka dengan arbitrase tersebut, maka akhirnya mereka keluar dan pergi meninggalkan pasukan Ali. Mereka ini disebut dengan golongan Khawarij. Dengan cara pandang mereka itu, maka bagi mereka Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah dan berbuat dosa, bahkan mereka mengatakan seluruh pihak yang terlibat dan turut serta dalam peristiwa arbitrase tadi telah melakukan dosa besar[3].
Khawarij yang bermarkas di Nahrawan, benar-benara merepotkan khalifah, sehingga memberikan kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat dan meluaskan kekuasaannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya sungguh sangat fatal bagi Ali, tentara Ali semakin melemah, sementara kekuatan Muawiyah makin bertambah besar. Keberhasilan Muawiyah mengambil Mesir, berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.
Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis berarti khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Suriah dan Mesir. Kompromi tersebut tanpa diduga ternyata mengeraskan amarah kaum khawarij untuk menghukum orang-orang yang tidak disukai. Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (611), khalifah berhasil ditikam oleh Ibn Muljam, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatic. Pada saat itu wilayah Islam sudah meluas lagi baik ke timur Persia maupu ke barat Mesir, perang ini disebut perang Nahrawan[4].
Peperangan sipil berlangsung terus sepanjang masa pemerintahan Ali dan ia merupakan peristiwa yang palib berpengaruh dalam perjalanan sejarah islam.ia bermula dari sebuah permusuhan di tengah konflik interes kalangan Arab dan berakhir dengan perpecahan keagamaan dan politik di kalangan ummat (komunitas) muslim.
Ketika juru runding bertemu di Adhruh pada bulan Januari 659 mereka sepakat bahwasannya pembunuh Utsman tidak dapat dibenarkan, dan bahwa sebuah lembaga syura segera dibentuk untuk pemilihan seorang khalifah baru. Ali menolak hasil perundingan ini, tetapi sama sekali tidak ada gunanya. Koalisi Ali terpecah dan pimpinan suku-suku kufah melepaskan dukungan terhadapnya. Lebih dari itu pertempuran sengit mulai mengancam keamanan imperium dan mengancam pendapatan negara. disebabkan kaum pemberontak wilayah Iran Timur menghentikan pembayaran pajak kepada tokoh-tokoh suku di basrah dan kufah, maka opini bangsa Arab memihak kepada suksesi muawiyah sebagai khalifah karena ia memiliki kekuatan yang tangguh, dank arena opini mereka memandang bahwa mu’awiyah mampu menjalankan pemerintahan bersama dengan elit muslim-arab dan kekuasaan bangsa arab terhadap imperium[5].
[1] Rianawati, sejarah peradaban islam jilid 1 (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2010) hlm. 109
[2] Phlip K. Hitti, History Of Arabs, (Jakarta :PT Serambi Ilmu Semesta. 2014), Hlm. 222-227
[3] Ma’ruf, sejarah peradaban islam jilid 1 (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2011) hlm. 135-149
[4] Rianawati, opcit, hlm. 116.
[5] Ira. M.Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu Dan Kedua, (Jakarta :Pt Raja Grafindo, 2005). Hlm 84-85
Comments
Post a Comment