Dengan kata lain, aktivitas public
relations sebenarnya selalu dilakukan manusia sehingga selalu hadir dalam
kehidupan. Sifat selalu hadir ini yang disebut Suzane Hosley (2009) sebagai
“ubiquitous nature of Public Relations”. “Prinsip-prinsip public relations telah
diketahui, dipelajari, dan dipraktikkan sejak berabad-abad lamanya”.
(Leahigh, 1993: 24). “public relations
sama tuanya dengan peradaban, karena semua aktivitas nya adalah upaya untuk
memersuasi. Banyak taktik persuasi yang digunakan sekarang telah digunakan oleh
pemimpin masyarakat selama ribuan tahun “ (Newsom Scott & Turk, 1993). Kondisi ini senada dengan tulisan
L’Etang (2004) yang menyebut perkembangan public relations sebagai aktivitas sama
seperti jurnalistik, yaitu mulai ada sejak era Yunani dan Romawi, karena kajian
public relations sangat terkait dengan kajian retorika, persuasi dan bahkan
sophistry.
Public Relations semakin berkembang
ketika dunia industri mengalami perkembangan setelah revolusi industri di Eropa
dan menjalar ke bagian dunia lain, seperti Amerika Serikat dan Asia.
Perkembangan dunia industri pun bersinggungan dengan berbagai aspek sosial
kehidupan, seperti munculnya relasi majikan dan pekerja, pemasaran produk yang
luas, dan pencarian bahan mentah industri yang lintas negara dan benua. Hal ini
membuat praktik public relations makin meluas dan tekait berbagai bidang,
seperti bisnis, ilmu politik, psikologi, komunikasi massa, antropologi,
sosiologi, pemasaran maupun pemerintahan. Kondisi inilah yang pada akhirnya,
ketika kajian teoritis terhadap public relations mulai berkembang, bidang tersebut
banyak memengaruhi ilmu public relations. Berbagai literatur seperti Botan dan
Hazelton (1984), Greenwold 2010, Grubig dan Hunt (1984), Grunig (1989),Hallahan
(1999), Ihlen dan Van Ruler (2009), dan Sisco, Collin, & Zock (2011)
menyebut public relations sebagai ilmu sosial yang bersifat disiplin ilmu. Sementara
itu, Edward Bernays dan Edward Robinson (Culbertson, 1993: Grunig dan Hunt, 1984)menyebut public relations sebagai ilmu
sosial dan perilaku terapan, karena hasil integrasi elemen teoritis dan
praktis.
Kemudian public relations berkembang
dalam konteks organisasi. Ivy Leedbetter mengenalkan prinsip pemberian
informasi “tell the truth” untuk mengatasi krisis yang menimpa perusahaan
kereta api di Pensylvania, Amerika Serikat di awal abad ke-20. Prinsip ini
dapat dilakukan karena mengacu tulisan Cutlip (1994), Lee ialah praktisi
pertama yang diposisikan di lavel manajemen. Saat itu Lee fokus pada kebijakan
manajemen, yaitu “good policy makes good public relations” yang mendefinisikan public
relations sebagai aktivitas yang terlibat dalam mengekspresikan ide atau
kebijakan organisasi (Lamme dan Russel, 2010). Pengekspresian ini mengandung
arti bahwa kebijakan organisasi perlu didasari saran atau informasi dari
praktisi public relations. Terkait kepentingan publik, kemudian publik harus
diberi tahu proses pengambilan kebijakan termasuk apa saja isu terkait
kepentingan mereka, yang menjadi dasar bagi Grunig dan Hunt (1984) memunculkan
model public Information. Gagasan Lee ini dianggap awal public relations modern
(Grunig dan Hunt, 1984), dan Lee sendiri
dianggap sebagai the father of Public Relations (Newsom, dkk, 1993: 43). Secara
umum, Amerika Serikat dianggap tempat berkembangnya public relations sebagai
profesi dan kajian Akademis (Grunig &
Hunt, 1984; Honsley, 2009,
L’Etang, 2008, Raaz & Wahmeier, 2011; Seitel 2001), bersamaan dengan
penggunaan opini publik (Podnar &
Golob, 2009). Tetapi beberapa tulisan menyebut bahwa Eropa memberikan
sumbang sih besar (L’Etang, 2004, Raaz
dan Wahmeier, 2011) akibat perkembangan industri yang memang di mualai saat
revolusi industri di Eropa.
Fase perkembangan lainnya disampaikan Edward
Bernays sebagai pionir kajian public relations di awal abad ke-20. Bernays
berangkat dari disiplin psikologi. Pemikiran Bernays yang terkenal adalah
konsep public relations counsel, yaitu praktisi sebagai penasehat manajemen.
Konsep ini mengembangkan praktik public relations sebagai aktivitas membantu
manajemen menginterpretasi publik dan membantu publik menginterpretasi
manajemen. Konsep ini ditawarkan Bernays untuk merespon banyaknya propaganda
yang cenderung negatif dan manipulasi. Bernays meletakkan dasar bagi praktek
komunikasi yang profesional. Sebelumnya, public relations yang dikenal sekarang
lebih bersifat prees-agentry dan publisitas langsung. Pada akhirnya Bernays mengenalkan
konsep “new propaganda”, yaitu
manipulasi yang seimbang dengan memperhatikan persetujuan publik dan berdasarkan
riset serta mengedepankan aspek etis melalui interpretasi dua arah (Culbertson,
dkk, 1993; Grunig & Hunt, 1984; Lamme &
Russel, 2010).
Grunig & Hunt (1984) mengenalkan empat
model public relations yang menunjukkan empat fase praktik public relations:
prees-agentry, public Information, two-way-asymmetric, dan two-way-symmetric. Pada
awalnya aktivitas public relations hanya sebatas sebagai agen penyedia
informasi bagi media (prees-agentry). Kemudian berkembang menjadi penyedia
informasi bagi publik (public Information). Terakhir, aktivitas public
relations mulai berfokus membuka saluran komunikasi dua arah, baik yang
bersifat seimbang (simetris) maupun yang bersifat asimetris.
Comments
Post a Comment